2 Mei , kembali kita memperingati Hari Pendidikan. Momentum seperti ini, mesti nya mampu mengajak kepada seluruh warga bangsa untuk merenung ulang sekaligus mempertanyakan apakah pendidikan yang dilakukan sudah memberi "pencerdasan" bagi kita semua ? Benarkah sistem pendidikan yang kita tempuh sudah seirama dengan semangat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dimana salah satu harapan nya adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". ? Sudahkah bangsa kita secerdas yang diimpikan ? Apakah dengan ditetapkan nya anggaran pendidikan sebesar 20 %, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU Pendidikan Nasional, telah membawa banyak perubahan di dalam dunia pendidikan, dibandingkan ketika anggaran pendidikan dalam APBN/D belum di patok pada angka 20 % ? Dan persoalan lain nya lagi yang dapat kita kemukakan pada hari ini, tatkala bangsa kita sedang memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Berbagai hal yang dikemukakan diatas, kelihatan nya lepas pas kita sebut sebagai sebuah "gugatan" ketimbang sebuah masalah yang ingin diutarakan. Pendidikan, apakah yang sifat nya formal, in formal atau non formal, pada hakekat nya ditujukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang semakin berkualitas. Pendidikan juga dimaksudkan untuk membebaskan warga bangsa dari "dunia kebodohan" dan ketertinggalan. Bahkan melalui pendidikan inilah kita berkeinginan agar kemiskinan masyarakat dapat dihapuskan. Hal ini penting dipahami, karena salah satu penyebab kemiskinan adalah dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Dari situlah kemudian lahir istilah "lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal". Orang hidup miskin, karena pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah, orang tersebut menjadi tidak mendapatkan pekerjaan. Karena tidak ada pekerjaan, maka pendapatan nya pun rendah atau bahkan sama sekali tidak ada. Kalau tidak ada pendapatan, maka orang itu tentu miskin. Inilah "the vicious circle of poverty".
Dalam peringatan Hari Pendidikan yang sekarang, ada baik nya kita secara fokus melakukan"penajaman" terhadap penggunaan 20 % anggaran sesuai yang diamanatkan UU Pendidikan Nasional. Disini penting dipersoalkan apakah dana 20 % itu diperuntukan untuk Kementrian Pendidikan Nasional dan "anak gugus" nya hingga ke Provinsi dan Kabupaten/Kota, atau kah dapat dimanfaatkan oleh Kementrian mana pun selama substansi nya terkait dengan hakekat dan makna pendidikan ? Pengalaman selama ini, yang nama nya anggaran 20 % itu memang seolah-olah dikelola hanya oleh Kementrian Pendidikan dan Dinas Pendidikan, baik di Provinsi mau pun Kab/Kota. Akibat nya wajar jika kesan "kebanjiran" uang pun mengemuka, yang terkadang menimbulkan kecemburuan dari Dinas-Dinas yang tidak kebagian anggaran. Yang mengenaskan, ternyata tidak semua daerah siap mendaya- gunakan anggaran yang diberikan. Mereka kelihatan nya tidak memiliki program yang mampu bersifat terobosan. Mereka lebih senang melakukan yang biasa-biasa saja. Bahkan budaya "copy-paste" terhadap program tahun anggaran sebelum nya, bisa saja terus terjadi.
Dalam hal ini mereka sudah relatif canggih, khusus nya dalam memainkan angka persentase dalam penetapan pagu anggaran. Yang menggelikan adalah ada nya fakta bahwa penambahan jumlah anggaran tidak seiring dengan pengembangan program yang dibutuhkan. Tambahan anggaran yang cukup spektakuler kurang diimbangi oleh kesiapan aparat untuk mau berkreasi dan berimprovisasi dalam melahirkan beragam inovasi. Akibat nya, wajar-wajar saja jika di berbagai daerah ditemukan fenomena bahwa naik nya anggaran pendidikan, tidaklah signifikan dengan peningkatan indeks pendidikan dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Malah agak mencengangkan pula ada daerah yang anggaran pendidikan nya meningkat, namun indeks pencapaian IPM nya malah menurun dan tidak sesuai target yang ditetapkan. Ironis, memang ! Mudah-mudahan saja, ke depan hal-hal yang demikian tidak terus berulang, namun akan mampu kita gantikan dengan suasana yang diharapkan. Kita ingin agar efektivitas dan efesiensi anggaran tetap terkontrol. Kita ingin agar niat baik untuk menambah jumlah anggaran pendidikan sebesar 20 % ini, benar-benar transparan dan akuntabel. Dan kita juga berkeinginan, agar pendidikan yang kita lakukan, mampu membebaskan warga bangsa dari belenggu kebodohan dan kemiskina. Selamat berhari Minggu,....Salam
Ajat Heryana (Alumni HIMMAKA Bandung)
Berbagai hal yang dikemukakan diatas, kelihatan nya lepas pas kita sebut sebagai sebuah "gugatan" ketimbang sebuah masalah yang ingin diutarakan. Pendidikan, apakah yang sifat nya formal, in formal atau non formal, pada hakekat nya ditujukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang semakin berkualitas. Pendidikan juga dimaksudkan untuk membebaskan warga bangsa dari "dunia kebodohan" dan ketertinggalan. Bahkan melalui pendidikan inilah kita berkeinginan agar kemiskinan masyarakat dapat dihapuskan. Hal ini penting dipahami, karena salah satu penyebab kemiskinan adalah dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Dari situlah kemudian lahir istilah "lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal". Orang hidup miskin, karena pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah, orang tersebut menjadi tidak mendapatkan pekerjaan. Karena tidak ada pekerjaan, maka pendapatan nya pun rendah atau bahkan sama sekali tidak ada. Kalau tidak ada pendapatan, maka orang itu tentu miskin. Inilah "the vicious circle of poverty".
Dalam peringatan Hari Pendidikan yang sekarang, ada baik nya kita secara fokus melakukan"penajaman" terhadap penggunaan 20 % anggaran sesuai yang diamanatkan UU Pendidikan Nasional. Disini penting dipersoalkan apakah dana 20 % itu diperuntukan untuk Kementrian Pendidikan Nasional dan "anak gugus" nya hingga ke Provinsi dan Kabupaten/Kota, atau kah dapat dimanfaatkan oleh Kementrian mana pun selama substansi nya terkait dengan hakekat dan makna pendidikan ? Pengalaman selama ini, yang nama nya anggaran 20 % itu memang seolah-olah dikelola hanya oleh Kementrian Pendidikan dan Dinas Pendidikan, baik di Provinsi mau pun Kab/Kota. Akibat nya wajar jika kesan "kebanjiran" uang pun mengemuka, yang terkadang menimbulkan kecemburuan dari Dinas-Dinas yang tidak kebagian anggaran. Yang mengenaskan, ternyata tidak semua daerah siap mendaya- gunakan anggaran yang diberikan. Mereka kelihatan nya tidak memiliki program yang mampu bersifat terobosan. Mereka lebih senang melakukan yang biasa-biasa saja. Bahkan budaya "copy-paste" terhadap program tahun anggaran sebelum nya, bisa saja terus terjadi.
Dalam hal ini mereka sudah relatif canggih, khusus nya dalam memainkan angka persentase dalam penetapan pagu anggaran. Yang menggelikan adalah ada nya fakta bahwa penambahan jumlah anggaran tidak seiring dengan pengembangan program yang dibutuhkan. Tambahan anggaran yang cukup spektakuler kurang diimbangi oleh kesiapan aparat untuk mau berkreasi dan berimprovisasi dalam melahirkan beragam inovasi. Akibat nya, wajar-wajar saja jika di berbagai daerah ditemukan fenomena bahwa naik nya anggaran pendidikan, tidaklah signifikan dengan peningkatan indeks pendidikan dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Malah agak mencengangkan pula ada daerah yang anggaran pendidikan nya meningkat, namun indeks pencapaian IPM nya malah menurun dan tidak sesuai target yang ditetapkan. Ironis, memang ! Mudah-mudahan saja, ke depan hal-hal yang demikian tidak terus berulang, namun akan mampu kita gantikan dengan suasana yang diharapkan. Kita ingin agar efektivitas dan efesiensi anggaran tetap terkontrol. Kita ingin agar niat baik untuk menambah jumlah anggaran pendidikan sebesar 20 % ini, benar-benar transparan dan akuntabel. Dan kita juga berkeinginan, agar pendidikan yang kita lakukan, mampu membebaskan warga bangsa dari belenggu kebodohan dan kemiskina. Selamat berhari Minggu,....Salam
Ajat Heryana (Alumni HIMMAKA Bandung)