Semaraknya situs atau website pendidikan dewasa ini, baik yang mencakup pendidikan umum maupun permata pelajaran, patut disambut dengan gembira. Hal ini menunjukkan adanya inovasi di bidang pendidikan, dan sejalan dengan berkembangnya model pembelajaran di Indonesia. Situs-situs pembelajaran tersebut bisa digolongkan kepada model pembelajaran e-learning, yaitu pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa elektronika seperti telepon, audio, vidiotape, transmisi satelit atau computer (Soekartawi, 2007: 25). Pada awalnya model e-learning ditujukan untuk pelaksanaan pendidikan jarak jauh (PJJ). Tujuan dari penyelenggaraan e-learning untuk PJJ sangat jelas, yaitu untuk memudahkan para siswa mengakses pendidikan jarak jauh dari gurunya. Seiring dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kini e-learning tidak hanya digunakan oleh mereka yang mempunyai masalah karena terpisahnya siswa dan guru oleh jarak yang jauh, tapi sudah mulai marak digunakan oleh para guru dan siswa yang setiap harinya selalu bertatap muka dan bersinggungan badan di dalam kelas. Saya berpendapat, fenomena ini adalah sebuah kemajuan di bidang pendidikan.
Melihat fenomena seperti itu, kita berharap pendidikan di Indonesia maju pesat secepat majunya teknologi komunikasi dan informasi. Tapi saya pun berpendapat, bahwa lebih baik kita jangan dulu silau oleh hal-hal yang berbau modern dan canggih. Sebelum mengaplikasikan sebuah media untuk pelaksanaan pembelajaran, kita harus berpikir jernih dan cermat, sejauh mana manfaat media itu untuk anak didik kita? Bila model pembelajaran beserta media yang kita gunakan itu member banyak manfaat untuk siswa dan gurunya, kita bisa menetapkan dan memilihnya sebagai model dan media yang akan selalu kita gunakan di setiap kegiatan belajar mengajar. Tapi apabila model beserta media tersebut kurang praktis, tidak efektif dan tidak efisien bila diterapkan di dalam proses belajar mengajar guru dan siswa, kenapa harus dipaksakan? Sebelum melaksanakan pembelajaran, seorang guru (tentu saja bukan guru bidang IT/ ICT) harus mengetahui betul tujuan akhir dari pelaksanaan pembelajaran pada hari itu. Seorang guru juga harus mengetahui betul kondisi anak didiknya pada saat pelaksanaan pembelajaran.
Bila ternyata e- learning adalah model pembelajaran yang tidak sesuai dengan kondisi anak didiknya, jangan ragu untuk meninggalkan model tersebut. Jangan takut dicap sebagai guru yang kuno, konvensional, dan tidak inovatif, sebab keadaan sosial ekonomi anak didik kita beserta karakteristiknya hanya kitalah yang tahu. Dan seorang guru harus mengetahui pula, bahwa e- learning pun selain mempunyai kelebihan tentu saja ada kekurangannya. Nah yang perlu kita pertimbangkan sebelum mengaplikasikan model pembelajaran ini adalah mengenai kekurangannya. Sementara di lapangan, model pembelajaran e-learning cenderung dipaksakan. Saya melihat, mereka yang melaksanakan model e-learning ini belum sepenuhnya paham akan tujuan dari pengunaan model pembelajaran ini, dan tidak memperhatikan kondisi social ekonomi maupun karakteristik anak didiknya. Model Pembelajaran e-learning yang digunakan di sebuah sekolah pada saat ini yaitu model pembelajaran dengan media webblog. Di luar jam sekolah anak didik diperintahkan oleh gurunya mengunjungi satu webblog yang berfungsi sebagai alat transfer materi pelajaran. Atau seorang guru bisa juga langsung menugaskan kepada muridnya agar mengirimkan hasil pekerjaannya (tugas) ke alamat e-mail atau ke alamat sebuah website, juga pada saat murid sedang berada di luar sekolah. Sepintas kegiatan tersebut tampak baik dan canggih. Baik guru maupun murid sama-sama merambah internet dalam pelaksanaan pembelajaran. Tapi bila kita cermati, ada yang perlu dipikirkan dengan seksama. Sejauh mana kemajuan hasilnya bila dibandingkan dengan model pembelajaran tatap muka? Temuan saya di lapangan tentang belum maksimalnya model e-learning ini adalah sebagai berikut.
• Pengelolaan webblog yangserampangan, baik isi, disain, maupun tampilannya tidak sesuai dengan visi dan misi pendidikan.
• Bahasa yang digunakan di dalam setiap materi yang di-posting di blog atau website tersebut belum mencerminkan bahasa intelektual.
• Seorang guru yang baru melek internet, belum menguasai betul bahasa komputer maupun bahasa HTML (Hyper Text Markup Language), sudah memaksakan diri menyelenggarakan e-learning, sehingga bila muncul masalah teknis tidak mengantisipasi dan tidak segera memperbaikinya, tapi dibiarkan berlarut-larut menunggu datangnya seorang teknisi.
• Ketidak jelasan tujuan pembelajaran. Hal ini terlihat dari ketidak seriusan guru tersebut dalam mengolah hasil akhir penggunakan webblog.
• Guru tidak konsekwen dalam pelaksanaan e-learning. Hal ini terlihat dari tidak adanya pemberitahuan kepada anak didik tentang kesimpulan atau hasil dari penggunaan model pembelajaran tersebut.
• Guru tidak peduli akan kondisi sosial ekonomi anak didik. Seringkali seorang guru menugaskan anak didiknya untuk mengirimkan tugas melalui alamat e-mail dan website di luar sekolah, itu berarti setiap anak didik harus mengunjungi warnet, dan berarti pula mereka harus mengeluarkan biaya. Bayangkan bila semua guru mata pelajaran menugaskan siswa-siswanya seperti itu, berapa rupiah yang harus dikeluarkan oleh seorangsiswa hanya untuk memberikan hasil pekerjaannya? Untuk anak-anak yang orang tuanya tergolong mampu tentu saja bukan masalah, tapi bagaimana dengan anak-anak golongan ekonomi lemah?
• Guru tidak peduli pada beragam karakter anak didik. Bahwa sifat siswa itu sangat beragam: yang malas, yang rajin, yang cepat tanggap, yang lambat menerima materi pelajaran maupun melaksanakan instruksi, pasti selalu ada dalam sebuah kelas. Bila tugas yang diberikan kepada anak didik itu tugas kelompok, guru akan lebih sulit lagi mengetahui, karya siapa sebenarnya tugas itu. Untuk seorang murid yang malas, jangankan mengerjakan tugas di luar sekolah, di dalam sekolah pun yang tak lepas dari pengawasan guru, mereka enggan mengerjakannya. Oleh karena itu Soekartawi berpendapat, siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi, bila diajak belajar melalui e-learning, dia cenderung gagal. Kesimpulannya, metode dan model pembelajaran konvensional (tatap muka) sampai hari ini masih diakui lebih unggul dibandingkan model pembelajaran jarak jauh. Tapi bukan berarti penggunaan e-learning di mana interaksi guru dan siswa terhalang oleh sebuah website adalah buruk. Yang perlu diperhatikan dan dipikirkan, model pembelajaran apa pun yang akan digunakan, perlu perencanaan dan persiapan yang matang.
Ajat Heryana (Alumni HIMMAKA Bandung)
Minggu, 06 Juni 2010
Sejauh mana situs pembelajaran bagi siswa
09.28
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Posting Komentar di sini: